KEBAKARAN HUTAN DIRIAU
Hampir setiap tahun jelang musim kemarau, kita menyaksikan ribuan hektar kawasan hutan di Riau dan beberapa daerah di Sumatra di bakar. Pembakaran yang dilakukan secara sengaja, baik oleh masyarakat sekitar sendiri, maupun oleh perusahaan perkebunan akhirnya menjadi rutinitas bencana tahunan yang seakan tidak pernah ada penyelesaian. Bencana itu bukan saja kerusakan alam dan ekosistem, tapi juga bencana kabut asap yang selalu menghadirkan kesengsaraan bagi rakyat.
Negara kita memang tidak henti-hentinya
mengalami bencana. Banjir yang hampir melanda seluruh daerah di
Indonesia, tanah longsor, hingga gunung meletus di Sinabung dan Gunung
Kelud. Dan belum lama ini kebakaran hutan yang sangat luas.
Dari berbagai bencana tersebut, yang
membuat kita miris adalah kebakaran hutan yang melanda Riau dan beberapa
daerah di Sumatra yang menyebabkan bencana kabut asap itu terjadi
karena disengaja. Jadi jangan kita menyebut bencana asap adalah bencana
alam. Berbeda dengan banjir dan meletusnya Gunung Kelud dan Sinabung.
Kita masih menyebutnya berbagai bencana itu adalah bencana alam. Tapi
kebakaran hutan yang mengakibatkan bencana asap itu harus kita sebut
secara tegas sebagai sebuah kejahatan kemanusiaan.
Mengapa ? karena kebakaran itu jelas
sebabnya. Yakni sengaja dibakar oleh pihak-pihak tertentu sebagai cara
paling gampang dan murah untuk membuka lahan buat perkebunan. Amat
jarang kebakaran lahan terjadi akibat ulah alam. Persoalannya adalah
mengapa para pembakar hutan tersebut tak pernah jera melakukan aksinya?
Jawabannya tentu sangat mudah, karena masyarakat dan pemerintah lemah
dalam hal pengawasan dan mandulnya penegakan hukum terhadap pelaku
pembakaran.
Pembakaran Hutan di Riau dan beberapa
daerah di Sumatra, dari berbagai laporan, baik dari lembaga swadaya
masyarakat maupun dari pemerintah sendiri menyatakan bahwa bencana asap
yang menimpa Riau dan sebagian besar Sumatra tersebut karena ulah kotor
tangan manusia. Baik yang dilakukan secara individu sekedar membuka
lahan untuk ladang-ladang mereka, maupun pembakaran yang dilakukan oleh
pihak perusahaan perkebunan untuk memperluas pengelolaan daerah
perkebunannya. Setiap tahun malapetaka asap terus dirasakan, dan setiap
tahun pula peristiwa tersebut berlangsung. Jadi taramat tidak wajar
apabila masyarakat sebenarnya tidak paham dengan cara-cara pembukaan
lahan seperti itu yang menyebabkan dampak kerusakan dan kesehatan bagi
manusia yang amat luar biasa.
Anehnya, ketika pembakaran hutan kian
sering terjadi, hukum cuma garang terhadap pelaku perseorangan, tetapi
lunglai untuk korporasi. Untuk kasus 2013 saja, tujuh perusahaan yang
telah ditetapkan sebagai tersangka hingga saat ini masih dalam proses.
Hukuman terhadap pembakar hutan juga terbilang ringan, hanya berupa
vonis penjara mulai 8 bulan hingga 8 tahun. Semestinya, mereka juga
harus dihantam palu perdata dengan keharusan membayar ganti rugi atas
rusaknya ekologi dan ganti rugi immaterial lainnya karena menyebabkan
puluhan ribu masyarakat menjadi sakit.
Bahkan kerugian tersebut tidak main-main.
Dalam sebuah laporan, studi kesehatan dampak bencana asap yang menimpa
setiap tahun di daerah Riau dan sekitar Sumatra, dalam jangka panjang
dan terus menerus akan menyebabkan kerusakan jaringan otak yang fatal.
Indikatornya amat jelas, dengan dihirupnya udara beracun dengan skala
sangat berbahaya dalam kurun waktu yang lama. Kasus bencana asap di 2014
ini saja, rakyat Riau dan sekitarnya telah menghirup asap selama lebih
dari dua bulan. Dan hukuman lain yang pantas buat pelaku pembakaran
adalah pemerintah harus mencabut hak pengelolaan perkebunannya, apalagi
kita mengetahui bahwa perusahaan pengelola perkebunan tersebut sebagian
dikuasai oleh perusahaan asing. Mereka seenaknya mengambil dan
memanfaatkan sumber daya alam Indonesia. Bukan memberikan kontribusi
bagi kesejahteraan masyarakat sekitar, namun malah menambah daftar
panjang penderitaan masyarakat.
Padahal hasil hutan ini di
gadang-gadangkan sebagai pendongkrak pembangunan nasional dan
peningkatan ekonomi masyarakat. Realitanya hasil yang diterima daerah
dari ekploitasi hutan ini belum berbanding lurus dengan dampak
ekploitasi yang ada.
Dengan kata lain, apa yang terjadi di
Riau juga sepenuhnya hasil tanggung jawab pemerintah yang gagal
melakukan tata kelola hutan. Inilah potret buruk tata kelola hutan yang
tidak mengindahkan segi-segi pengelolaan dan pengamanan ekosistem
terpadu yang menjadi domain kebijakan pemerintah.
Di penghujung tahun 2013, Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari)
merilis Catatan Akhir Tahun 2013. Terekam sepanjang tahun 2013, hutan
alam masih terus ditebang oleh korporasi berbasis tanaman industri dan
korporasi perkebunan kelapa sawit.
Dalam catatan tersebut, terlihat bahwa
deforestasi semakin meningkat di tahun 2013. Sepanjang tahun 2012-2013,
total 252,172 hektar hutan alam dihancurkan oleh korporasi berbasis
tanaman industri, dibanding tahun sebelumnya deforestasi sebesar 188
ribu hektare. Jadi ada peningkatan sekitar 64 ribu lebih deforestasi
terjadi dibanding tahun 2012. Kini sisa hutan alam hanya sekitar 1,7
juta hektar atau tinggal 19 persen dari luas daratan Riau seluas 8,9
juta hektar.
Data tersebut menunjukkan tiga tahun
belakangan (2009-2012), Riau kehilangan tutupan hutan alam sebesar
565.197.8 hektar (0,5 juta hekatre), dengan laju deforestasi pertahun
sebesar 188 ribu hektar pertahun atau setara dengan hilangnya 10 ribu
kali lapangan futsal per hari. Dan 73,5 persen kehancuran itu terjadi
pada Hutan Alam Gambut yang seharusnya dilindungi.
Buruknya tata kelola kehutanan di Riau
karena pemerintah Indonesia membiarkan korporasi menebang hutan alam,
merampas hutan tanah rakyat, melakukan praktek korupsi, illegal logging
dan perusakan ekologis. Sikap pembiaran atau pengabaian pemerintah ini
tentu saja menjadi keuntungan besar korporasi berbasis industri
kehutanan. Sikap Pembiaran Pemerintah tersebut sudah barang tentu
bertentangan dengan komitmen mengurangi emisi karbon sebesar 26 persen.
Tabiat buruk pengusaha dan pejabat dalam
tata kelola hutan juga makin terungkap. Antara lain, kasusdari
deforestasi-degradasi, pembatasan akses masyarakat terhadap hutan,
pembakaran hutan dan lahan, kriminalisasi pembela lingkungan, minimnya
anggaran sektor kehutanan yang kembali ke daerah, korupsi kehutanan yang
melibatkan pejabat birokrasi dan kolusi/korupsi terkait persetujuan
pengelolaan/ perluasan dan sertifikasi perusahaan pengelola hutan.
Sebagai masyarakat kita hanya berharap
bahwa pemerintah sadar bahwa menangani asap bukan saja melibatkan secara
serius badan penanggulangan Bencana dan lembaga-lembaga terkait
lainnya. Tapi juga melibatkan secara serius melibatkan aparat penegak
hukum dengan mind set menilai bahwa kasus pembakaran adalah bukan
bencana, tapi kejahatan kemanusiaan luar biasa. Karena luar biasa
itulah penegakan hukum dan sangsi yang diberikan juga harus luar biasa
beratnya.
Sumber : issuu.com/riaupos/docs/2014-03-14