Proses akulturasi di Indonesia tampaknya beralir secara simpang
siur, dipercepat oleh usul-usul radikal, dihambat oleh aliran kolot,
tersesat dalam ideologi-ideologi, tetapi pada dasarnya dilihat arah
induk yang lurus: ”the things of humanity all humanity enjoys”.
Terdapatlah arus pokok yang dengan spontan menerima unsur-unsur
kebudayaan internasional yang jelas menguntungkan secara positif.
Akan tetapi pada refleksi dan dalam usaha merumuskannya kerap kali
timbul reaksi, karena kategori berpikir belum mendamaikan diri dengan
suasana baru atau penataran asing. Taraf-taraf akulturasi dengan
kebudayaan Barat pada permulaan masih dapat diperbedakan, kemudian
menjadi overlapping satu kepada yang lain sampai pluralitas, taraf,
tingkat dan aliran timbul yang serentak. Kebudayaan Barat mempengaruhi
masyarakat Indonesia, lapis demi lapis, makin lama makin luas lagi dalam
(Bakker; 1984).
Apakah kebudayaan Barat modern semua buruk dan akan mengerogoti
Kebudayaan Nasional yang kita gagas? Oleh karena itu, kita perlu
merumuskan definisi yang jelas tentang Kebudayaan Barat Modern. Frans
Magnis Suseno dalam bukunya ”Filsafat Kebudayan Politik”, membedakan
tiga macam Kebudayaan Barat Modern:
a. Kebudayaan Teknologi Modern
Pertama kita harus membedakan antara Kebudayan Barat Modern dan
Kebudayaan Teknologis Modern. Kebudayaan Teknologis Modern merupakan
anak Kebudayaan Barat. Akan tetapi, meskipun Kebudayaan Teknologis
Modern jelas sekali ikut menentukan wujud Kebudayaan Barat, anak itu
sudah menjadi dewasa dan sekarang memperoleh semakin banyak masukan
non-Barat, misalnya dari Jepang.
Kebudayaan Tekonologis Modern merupakan sesuatu yang kompleks.
Penyataan-penyataan simplistik, begitu pula penilaian-penilaian hitam
putih hanya akan menunjukkan kekurangcanggihan pikiran. Kebudayaan itu
kelihatan bukan hanya dalam sains dan teknologi, melainkan dalam
kedudukan dominan yang diambil oleh hasil-hasil sains dan teknologi
dalam hidup masyarakat: media komunikasi, sarana mobilitas fisik dan
angkutan, segala macam peralatan rumah tangga serta persenjataan modern.
Hampir semua produk kebutuhan hidup sehari-hari sudah melibatkan
teknologi modern dalam pembuatannya.
Kebudayaan Teknologis Modern itu kontradiktif. Dalam arti tertentu
dia bebas nilai, netral. Bisa dipakai atau tidak. Pemakaiannya tidak
mempunyai implikasi ideologis atau keagamaan. Seorang Sekularis dan
Ateis, Kristen Liberal, Budhis, Islam Modernis atau Islam Fundamentalis,
bahkan segala macam aliran New Age dan para normal dapat dan mau
memakainya, tanpa mengkompromikan keyakinan atau kepercayaan mereka
masing-masing. Kebudayaan Teknologis Modern secara mencolok bersifat
instumental.
b. Kebudayaan Modern Tiruan
Dari kebudayaan Teknologis Modern perlu dibedakan sesuatu yang mau
saya sebut sebagai Kebudayaan Modern Tiruan. Kebudayaan Modern Tiruan
itu terwujud dalam lingkungan yang tampaknya mencerminkan kegemerlapan
teknologi tinggi dan kemodernan, tetapi sebenarnya hanya mencakup
pemilikan simbol-simbol lahiriah saja, misalnya kebudayaan lapangan
terbang internasional, kebudayaan supermarket (mall), dan kebudayaan
Kentucky Fried Chicken (KFC).
Di lapangan terbang internasional orang dikelilingi oleh hasil
teknologi tinggi, ia bergerak dalam dunia buatan: tangga berjalan, duty
free shop dengan tawaran hal-hal yang kelihatan mentereng dan modern,
meskipun sebenarnya tidak dibutuhkan, suasana non-real kabin pesawat
terbang; semuanya artifisial, semuanya di seluruh dunia sama, tak ada
hubungan batin.
Kebudayaan Modern Tiruan hidup dari ilusi, bahwa asal orang
bersentuhan dengan hasil-hasil teknologi modern, ia menjadi manusia
modern. Padahal dunia artifisial itu tidak menyumbangkan sesuatu apapun
terhadap identitas kita. Identitas kita malahan semakin kosong karena
kita semakin membiarkan diri dikemudikan. Selera kita, kelakuan kita,
pilihan pakaian, rasa kagum dan penilaian kita semakin dimanipulasi,
semakin kita tidak memiliki diri sendiri. Itulah sebabnya kebudayaan ini
tidak nyata, melainkan tiruan, blasteran.
Anak Kebudayaan Modern Tiruan ini adalah Konsumerisme: orang
ketagihan membeli, bukan karena ia membutuhkan, atau ingin menikmati apa
yang dibeli, melainkan demi membelinya sendiri. Kebudayaan Modern
Blateran ini, bahkan membuat kita kehilangan kemampuan untuk menikmati
sesuatu dengan sungguh-sungguh. Konsumerisme berarti kita ingin memiliki
sesuatu, akan tetapi kita semakin tidak mampu lagi menikmatinya. Orang
makan di KFC bukan karena ayam di situ lebih enak rasanya, melainkan
karena fast food dianggap gayanya manusia yang trendy, dan trendy adalah
modern.
c. Kebudayaan-Kebudayaan Barat
Kita keliru apabila budaya blastern kita samakan dengan Kebudayaan
Barat Modern. Kebudayaan Blastern itu memang produk Kebudayaan Barat,
tetapi bukan hatinya, bukan pusatnya dan bukan kunci vitalitasnya. Ia
mengancam Kebudayaan Barat, seperti ia mengancam identitas kebudayaan
lain, akan tetapi ia belum mencaploknya. Italia, Perancis, spayol,
Jerman, bahkan barangkali juga Amerika Serikat masih mempertahankan
kebudayaan khas mereka masing-masing. Meskipun di mana-mana orang minum
Coca Cola, kebudayaan itu belum menjadi Kebudayaan Coca Cola.
Orang yang sekadar tersenggol sedikit dengan kebudayaan Barat palsu
itu, dengan demikian belum mesti menjadi orang modern. Ia juga belum
akan mengerti bagaimana orang Barat menilai, apa cita-citanya tentang
pergaulan, apa selera estetik dan cita rasanya, apakah
keyakinan-keyakinan moral dan religiusnya, apakah paham tanggung
jawabnya (Suseno; 1992).
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar